JAKARTA (THE JAKARTA POST/ASIA NEWS NETWORK) – Selama tiga tahun, puluhan perempuan, aktivis, dan penyintas kekerasan seksual berjuang tanpa henti untuk menjadikan Indonesia tempat yang lebih aman.
Mereka telah berkampanye dan melobi anggota parlemen untuk meloloskan RUU tentang penghapusan kekerasan seksual.
Pada akhir September, mereka menerima berita buruk: anggota parlemen yang bertugas antara 2014 dan 2019 tidak akan meloloskan RUU tersebut. Namun, ada secercah harapan dari anggota DPR yang baru.
Ketua DPR perempuan pertama yang baru, Puan Maharani, mengkonfirmasi pada hari kedua tugasnya, pada 2 Oktober, bahwa RUU itu termasuk di antara delapan RUU prioritas yang dibawa dari DPR sebelumnya.
Kami mengingatkan anggota parlemen tentang komitmen ini, terutama melalui laporan khusus kami yang diterbitkan pada 28 dan 29 November, bertepatan dengan gerakan global 16 Hari Aktivisme Melawan Kekerasan Berbasis Gender, yang diadakan dari 25 November hingga 10 Desember Hari Hak Asasi Manusia Internasional.
Para wanita yang telah berjuang untuk pengesahan RUU tersebut mengatakan DPR, yang memprakarsai RUU tersebut, tampaknya telah menarik dukungan untuk RUU tersebut setelah sekelompok Muslim konservatif menentangnya.
Para aktivis mengatakan DPR seharusnya bertindak berdasarkan prinsip, terutama karena meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan 35 tahun yang lalu pada tahun 1984.
Tetapi sebaliknya anggota parlemen mengikuti tarik ulur opini publik, di mana kaum konservatif yang keras menuduh bahwa RUU itu melegitimasi lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dan memaafkan perzinahan.
Aktivis dan penyintas, termasuk Muslim, telah membantah tuduhan itu, mengatakan RUU itu berfokus pada membantu korban dan keluarga dan memberikan konseling bagi para pelaku.